Selasa, 02 Juli 2013

BUDAYA POLITIK



                                                       BUDAYA POLITIK
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Bagian-bagian budaya politik
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :
  1. Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
  2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
  3. Budaya politik partisipatif (aktif)
Tipe-tipe Budaya politik ==
  • Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
  • Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
  • Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di indonesia == Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya haruus di telaah dan di buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut :
  • Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
  • Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
  • Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
  • kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
  • Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
  1. REDIRECT Nama halaman tujuan
Budaya Politik di Indonesia
  • Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
  • Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya.
  • Kecendrungan Neo-patrimoniaalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
·         Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi
·         Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tegas
·         Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
·         Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.

kehidupan Politik dan sosial budaya Pasca Orde Baru | Etnis Tionghoa
Latar belakang

Sudah sejak lama orang-orang keturunan Tionghoa menemukan masalah dalam menentukan jatidiri mereka. Di satu sisi saat ini hampir seluruh dari mereka merasa sebagai orang Indonesia yang hidup dan tinggal di negeri yang mereka cintai. Akan tetapi di sisi lain, sudah lama mereka tidak diakui keberadaannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kebijakan yang diterapkan oleh penguasa yang dianggap sangat merugikan orang yang berasal dari etnis Tionghoa. Hal ini terutama sangat mereka rasakan ketika Orde Baru masih berkuasa di Indonesia.
Orang yang berasal dari etnis Tionghoa oleh penguasa diperlakukan sama sekali berbeda dengan warga negara Indonesia lainnya. Berbagai kebijakan yang dibuat sangat membatasi ruang gerak etnis Tionghoa untuk dapat hidup dengan aman dan nyaman di negara yang sebenarnya mereka cintai ini. Adanya tekanan dari penguasa Orde Baru terhadap etnis Tionghoa juga berimbas kepada persepsi masyarakat terhadap orang yang berasal dari etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa mengalami banyak tekanan terutama dalam tiga bidang pokok kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu politik, sosial budaya, dan ekonomi. Berbagai kegiatan mereka diawasi dengan ketat dalam tiga bidang tadi dan adanya perlakuan diskriminasi dalam pemberian izin untuk terjun dalam tiga bidang itu. Dibentuknya Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) juga menunjukan bagaimana pemerintah Orde Baru memandang etnis Tionghoa sebagai sebagai suatu “masalah” yang harus dipecahkan. BKMC ini sendiri berada langsung di bawah Badan Koordinasi Intelejen (BAKIN) yang menunjukan bahwa kegiatan dan aktivitas orang-orang etnis Tionghoa harus diawasi dan dimata-matai.
Pada tahun 1998 terjadi perubahan yang sangat besar dalam kehidupan negara Indonesia. Rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun tumbang. Rezim ini yang telah mengakar dengan sangat kuat dalam ketatanegaraan Indonesia jatuh dan digantikan oleh pemerintahan baru. Adanya pergantian kekuasaan ini juga menyebabkan terjadinya keterbukaan di Indonesia. Perubahan ini membawa dampak yang sangat besar bagi etnis Tionghoa.

Mereka yang seperti hidup dalam sangkar pada saat rezim Orde Baru berkuasa, pada akhirnya merasakan angin kebebasan. Mereka mendapatkan kebebasan untuk berekspresi dalam tiga bidang yang sebelumnya sangat dikontrol pemerintah Orde Baru, yaitu politik, sosial budaya, dan ekonomi. Sangat menarik untuk disimak bagaimana kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi etnis Tionghoa sejak era reformasi bergulir.

Permasalahan
Politik, sosial budaya, dan ekonomi adalah tiga bidang yang sangat menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak era reformasi bergulir, masyarakat etnis Tionghoa mengecap manisnya arus perubahan ini. Mereka mengapresiasi tiga bidang tadi dengan sangat antusias. Terjadi perubahan yang sangat besar dalam kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa.

Kehidupan Politik
Pada zaman Hindia Belanda, perbedaan politik tampak jelas dari perbedaan aliran dari masing-masing organisasi politik yang dibentuk orang Tionghoa. Pertama yang berorientasi ke Tiongkok, kedua yang berorientasi ke Hindia Belanda, dan ketiga yang berorientasi ke Indonesia. Organisasi yang berorientasi ke Tiongkok adalah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK, 1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908). Organisasi ini didukung oleh orang Tionghoa Totok, yang baru datang ke Indonesia sekitar akhir abad ke 19 sampai dengan awal abad ke 20. Organisasi yang berorientasi ke Hindia Belanda adalah Chung Hwa Hui (CHH) yang didirikan pada tahun 1920. Para pendirinya adalah orang Tionghoa Peranakan yang berpendidikan Belanda, yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia. Karena terlalu "kebelanda-belandaan", oraganisasi ini akhirnya terpecah dua. Yang tidak setuju kemudian mendirikan partai politik yang pro-lndonesia, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.
Berbeda dengan kelompok Sin Po dan CHH, PTI yang didirikan pada tahun 1932 berkiblat ke Indonesia dan lebih mengidentifika-sikan diri kepada Indonesia daripada ke negara Cina atau Belanda. Partai itu bertujuan "membantu Indonesia membangun bidang ekonomi, sosial, dan politiknya menuju ke suatu negara di mana rakyat menikmati hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama".
Berbeda dengan awal tahun 1900-an, runtuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya era Reformasi menyebabkan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan sosial dan politik orang-orang Tionghoa di Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut menimbulkan kesadaran di kalangan etnis Tionghoa bahwa ada sesuatu yang salah dalam kehidupan mereka. Akibat tindakan represif yang dijalankan Jenderal Soeharto di masa penumpasan G30S dan PKI (1965-1969) dimana puluhan ribu orang-orang Tionghoa di seluruh Indonesia dituduh terlibat dan turut dikejar-kejar dan ditangkap untuk dijadikan objek pemerasan, terjadi trauma yang luar biasa di kalangan etnis Tionghoa sehingga mereka menjauhi wilayah politik. Ribuan sekolah dan beberapa universitas baik yang didirikan oleh Baperki maupun milik yayasan-yayasan Tionghoa ditutup dan gedungnya dijadikan markas tentara atau kesatuan aksi mahasiswa yang kemudian berubah menjadi sekolah negeri, ruko, atau perkantoran.
Semua hal ini terjadi karena rezim Orde baru menjadikan “metode asimilasi” sebagi solusi untuk menyelesaikan apa yang disebut “masalah Cina”. Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah Orde Baru berkenaan dengan etnis Tionghoa. Misalnya pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina, keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai pergantian nama, Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan Cina, Keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang mengatur WNI keturunan asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Leo Suryadinata, 1984: 153—173).
Tindakan rezim Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa serta larangan merayakan ritual agama, budaya dan tradisi Tionghoa serta penggantian istilah Tionghoa dengan peyoratif Cina ditambah dibentuknya Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) menimbulkan rasa takut dan enggan sebagian besar etnis Tionghoa untuk memasuki wilayah politik. Mereka perlahan-lahan digiring untuk memasuki wilayah bisnis semata dan dikurung di sana untuk tiga puluh dua tahun lamanya sampai runtuhnya rezim tersebut. Celakanya rezim Orde Baru memelihara segelintir pengusaha Tionghoa untuk dijadikan kroni mereka dalam menumpuk kekayaan dengan mengembangkan sistem percukongan yang memberikan fasilitas-fasilitas tertentu yang melahirkan konglomerat-konglomerat gelap yang menimbulkan imej yang sangat buruk di mata rakyat yang sangat merugikan seluruh etnis Tionghoa.
Kerusuhan Mei 1998 telah membuktikan bahwa tanpa didukung kekuatan politik, posisi orang-orang Tionghoa di Indonesia yang menurut mitos yang selama ini berkembang di masyarakat seolah-olah “sangat kuat” di bidang ekonomi, ternyata sangat rentan dan dapat dibuat tidak berdaya hanya dalam hitungan jam saja. Telah terbukti pula bahwa keyakinan sementara kalangan etnis Tionghoa bahwa perlindungan yang paling aman adalah dengan cara mencantolkan diri kepada para penguasa ternyata keliru.
Selama berlangsungnya kerusuhan Mei, kita dapat menyaksikan adanya “pembiaran” dari aparat keamanan sehingga aksi-aksi anarkis tersebut dapat berlangsung dengan bebas tanpa ada sedikitpun usaha untuk menghalanginya. Tidak lama setelah jatuhnya rezim Orde Baru bermunculanlah berbagai LSM, ormas dan partai politik yang didirikan oleh berbagai kalangan etnis Tionghoa dengan visi dan misinya masing-masing. Apalagi setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres yang memberi kebebasan kepada etnis Tionghoa dalam melakukan ritual-ritual keagamaan, tradisi dan budayanya serta Keppres Presiden Megawati yang menjadikan Imlek hari libur nasional, terjadi euphoria yang luar biasa di kalangan etnis Tionghoa.
Jika selama rezim Orde Baru orang-orang Tionghoa hanya berkonsentrasi di wilayah bisnis saja, maka di masa Reformasi terjadi perubahan. Mereka sekarang mencoba memasuki wilayah-wilayah lain yang selama tiga puluh dua tahun tertutup baginya. Etnis Tionghoa sekarang telah berani tampil ke depan untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara dengan menuntut pencabutan seluruh peraturan-peraturan yang diskriminatif, antara lain yang sekarang sedang hangat-hangatnya adalah masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih mendapatkan perlakuan khusus, misalnya kalau melamar untuk mendapatkan paspor mereka harus menyertakan surat kewarganegaraan.
SBKRI lahir karena adanya kebijakan Orde Baru yang sebenarnya kini tidak dapat dipakai lagi atau tidak relevan. Hal ini dimulai ketika terjadi perjanjian Dwikewarganegaraan antara Indonesia dengan RRC yang dikenal dengan nama perjanjian Dwikewarganegaraan Chou-Soenario yang berlangsung dari Januari 1960 sampai Januari 1962.
Adanya kebebasan untuk membentuk perkumpulan bagi kalangan etnis Tionghoa menyebabkan menjamurnya berbagai perkumpulan yang bercirikan Tionghoa. Setiap perkumpulan memiliki visi dan misinya masing. Diantara mereka sendiri terdapat berbagai perbedaan pandangan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pandangan berbagai organisasi tersebut menurut Benny G. Setiono dapat dibagi sebagai berikut :
  1. Kelompok yang berpendapat bahwa etnis Tionghoa harus membentuk partai politiknya sendiri agar dapat memperjuangkan kepentingan dan haknya secara langsung di DPR.
  2. Kelompok yang langsung mengintegrasikan diri ke tengah-tengah masyarakat dengan membentuk LSM-LSM yang menentang peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan diskriminatif.
  3. Orang-orang Tionghoa yang berpendapat bahwa mereka tidak punya masalah dengan ke-Tionghoa-annya dan merasa telah sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia. Mereka terjun langsung memasuki partai-partai politik dan berhasil menjadi anggota DPR atau MPR bahkan Menteri.
  4. Kelompok yang hanya ingin memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa terutama dalam mempertahankan sosial budaya etnis Tionghoa dan menghindari wilayah politik.
  5. Kelompok yang ingin menyelesaikan masalah Tionghoa secara holistic dengan menghimpun sebanyak mungkin orang-orang Tionghoa ke dalam sebuah wadah untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia menuju Indonesia Baru yang adil, makmur, dan berperadaban tinggi sehingga dapat bersaing di tengah globalisasi yang sedang melanda dunia.
  6. Kelompok pengusaha yang selama ini merasa aspirasinya tidak terwakili oleh KADIN membentuk Perhimpunan Pengusaha Tionghoa Indonesia.
  7. Selebihnya ratusan organisasi di seluruh Indonesia yang dibentuk kalangan “totok” berupa yayasan, perkumpulan dan perhimpunan yang pada umumnya berdasarkan asal provinsi atau kampung halamannya di daratan Tiongkok (Hokkian, Hakka, Kongfu, dsbnya) maupun berdasarkan marga (Liem, Wong, dsbnya).
Banyak juga dibentuk perkumpulan kematian, paguyuban alumni eks sekolah-sekolah Tionghoa, dan yayasan-yayasan pendidikan, kesehatan, dan seni budaya. Namun pada umumnya organisasi-organisasi ini dibentuk hanya berdasarkan ikatan kekerabatan dan nostalgia dan sangat menghidari wilayah politik. Yang paling banyak adalah perkumpulan-perkumpulan seni budaya seperti barongsai dan liong yang pada umumnya berbasiskan berbagai kelenteng di seluruh kota-kota di Indonesia.
Di antara berbagai organisasi Tionghoa, Perhimpunan INTI yang secara periodik mengadakan diskusi-diskusi dan seminar-seminar politik dengan berbagai tema dan narasumber dalam upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan politik para anggota dan simpatisannya. Hasilnya menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Jika pada awalnya peserta diskusi dan seminar-seminar tersebut hanya sedikit, namun sekarang setiap event diikuti oleh ratusan orang secara tekun dan aktif. Padahal Perhimpunan INTI bukanlah sebuah organisasi politik praktis dan melarang pengurusnya menjadi pengurus partai politik apapun. Perhimpunan INTI tidak mencantolkan diri kepada kekuatan politik apapun dan berusaha selalu independen. Dalam menghadapi Pemilu, Perhimpunan INTI mengajurkan para anggota dan simpatisannya untuk menggunakan hati nurani dan pengetahuan politiknya untuk menentukan pilihannya.
Bagi mereka yang merasa partisipasi politik Tionghoa tidak penting karena populasinya sedikit, mereka melupakan bahwa jumlah mungkin memiliki makna cukup besar bagi perhitungan suara pemilu, tetapi kecil bagi proses demokratisasi secara komprehensif. Demokrasi bukan monopoli mayoritas. Partisipasi politik minoritas yang demokratis justru bisa memberikan kontribusi pembelajaran yang menarik dalam proses demokratisasi.
Seperti telah diduga sebelumnya partai-partai politik yang bersifat primordial dan menggantungkan diri kepada basis Tionghoa pasti akan mengalami kegagalan. Dalam Pemilu Legislatif 2004 yang lalu, tidak sebuah pun parpol berbasis Tionghoa berhasil lolos seleksi, baik Departemen Kehakiman & Ham maupun KPU. PPBI tidak lolos seleksi Departemen Kehakiman & Ham dan PBI tidak lolos seleksi KPU. Masih ada satu partai politik lainnya yang dipimpin oleh seorang etnis Tionghoa dan juga mengandalkan dukungan dari kalangan etnis Tionghoa yaitu PDPR yang juga gagal mengikuti Pemilu karena tidak lolos seleksi KPU. Tetapi dengan gesit dan lincahnya para pemimpin parpol tersebut segera bermigrasi dan menjadi caleg partai politik lainnya. Ironisnya semuanya gagal menjadi anggota DPR.
Dalam Pemilu yang baru saja berlalu, lebih dari dua ratus orang etnis Tionghoa menerjunkan diri menjadi caleg, baik untuk DPR maupun DPRD. Namun pada umumnya mereka hanya digunakan oleh berbagai partai politik terutama partai-partai gurem untuk menghimpun suara dan dana.Mereka hampir semuanya ditempatkan di posisi “nomor sepatu”. Para caleg Tionghoa ini kebanyakan adalah para pengusaha golongan menengah yang sangat naïf dalam persoalan politik dan belum siap untuk terjun ke kancah politik praktis. Dari seluruh caleg tersebut hanya beberapa orang saja yang berhasil menjadi anggota DPR maupun DPRD.
Orang Tionghoa cukup pesimistis dalam menghadapi Pemilu. Menurut anggapan mereka apa yang dijanjikan selama masa kampanye hanyalah janji gombal belaka. Memang ada sekelompok orang Tionghoa yang mungkin bertujuan menjadi kroni para penguasa yang akan datang dengan secara aktif terjun menjadi tim sukses para Capres/Cawapres, tetapi mereka hanya minoritas dan tidak dapat mewakili keseluruhan etnis Tionghoa.
Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi dilarang atau paling tidak "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun akhir-akhir ini bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.

Kehidupan Sosial dan Budaya
Pada masa Orde Baru terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif, seperti Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang.
Di masa pasca Orde Baru, partisipasi sosial kalangan etnis Tionghoa sangat menonjol. Pada umumnya mereka aktif bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak sekali orang-orang Tionghoa yang memilih profesi sebagai guru, dosen, profesor, dokter, insinyur, pengacara, hakim, jaksa, advokat, bahkan polisi dan tentara. Mereka mendirikan berbagai sekolah mulai dari TK sampai SMA dan berbagai universitas.
Demikian juga puluhan rumah sakit didirikan kalangan etnis Tionghoa. Rumah sakit-rumah sakit ini didirikan dengan tujuan sosial semata yaitu untuk memberikan bantuan medis bagi yang membutuhkan tanpa memandang kemampuan ekonominya. Bandingkan dengan rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di masa Orde Baru yang bertujuan komersial semata.
Selaras dengan berlangsungnya reformasi, berbagai kegiatan sosial dilakukan oleh organisasi-organisasi Tionghoa antara lain dalam membantu korban gempa bumi, banjir, dan kebakaran. Demikian juga dengan kegiatan pembagian sembako dan pakaian bekas, donor darah, khitanan massal serta pengobatan massal secara cuma-cuma bagi kaum duafa.
Di bidang pendidikan mereka banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari kursus bahasa Inggris, Mandarin, komputer sampai akademi dan universitas. Kalangan mudanya secara aktif mulai memasuki bidang-bidang profesi di luar wilayah bisnis semata. Mereka sekarang secara terbuka berusaha menjadi artis sinetron, presenter TV, peragawati, foto model, pengacara, wartawan, pengarang, pengamat sosial/ politik, peneliti, dsbnya. Hal ini sangat berbeda ketika rezim Orde Baru memberlakukan kebijakan diskriminasi. Misalnya, pemberlakuan batasan 10 persen bagi etnis Cina untuk bisa belajar di bidang medis, permesinan, sains dan hukum di universitas.
Di dalam kehidupan sosial mereka mulai membuka diri dan mau peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Mereka tidak lagi menolak apabila terpilih menjadi Ketua RT/RW dan secara aktif ikut dalam penyelengaraan Pemilu di lingkungan tempat tinggalnya.
Dalam hubungan mereka dengan negara leluhur (RRC), pada umumnya mereka mengambil sikap bahwa hubungan tersebut hanya bersifat kekerabatan semata. Mereka merasa telah sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia yang lahir, besar, dan meninggal serta dikebumikan di Indonesia. Filsafat mereka sekarang adalah luo di sheng gen yaitu “berakar di bumi tempat berpijak” yang dapat diartikan menetap di Indonesia selama-lamanya menggantikan ye luo gui gen yang berarti “ibarat daun rontok kembali ke bumi”.
Demikian juga sikap pemerintah RRC yang dengan tegas menyatakan bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah warga Indonesia yang harus loyal kepada Indonesia, mentaati hukum dan peraturan Indonesia serta memberikan sumbangan pada pembangunan dan kemajuan Indonesia. Orang Tionghoa Indonesia bukan warga RRC dan tidak berada di bawah yurisdiksi Tiongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar