BUDAYA POLITIK
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan
benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum,
adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota
masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu
sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan
publik untuk masyarakat seluruhnya.
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :
- Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
- Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
- Budaya politik partisipatif (aktif)
Tipe-tipe Budaya politik ==
- Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
- Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
- Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di indonesia == Gambaran
sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya haruus di telaah dan
di buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai
berikut :
- Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
- Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
- Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
- kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
- Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
- REDIRECT Nama halaman tujuan
Budaya Politik di
Indonesia
- Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di
Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis
ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe)
dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui
tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun
diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing.
Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya,
rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam
kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain
tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
- Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya
politik yang menonjol di Indonesia.Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam
kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di
kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas
daripada menggali dukungn dari basisnya.
- Kecendrungan Neo-patrimoniaalistik
Salah
satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya
kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik;
artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik
zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya
politik yang berkarakter patrimonial.
Ciri-ciri
birokrasi modern:
·
Adanya suatu
struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah
dalam organisasi
·
Adanya
posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang tegas
·
Adanya
aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur
bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
·
Adanya personel
yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan
promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
kehidupan Politik
dan sosial budaya Pasca Orde Baru | Etnis Tionghoa
Latar
belakang
Sudah sejak lama
orang-orang keturunan Tionghoa menemukan masalah dalam menentukan jatidiri
mereka. Di satu sisi saat ini hampir seluruh dari mereka merasa sebagai orang
Indonesia yang hidup dan tinggal di negeri yang mereka cintai. Akan tetapi di
sisi lain, sudah lama mereka tidak diakui keberadaannya sebagai bagian dari
bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kebijakan yang
diterapkan oleh penguasa yang dianggap sangat merugikan orang yang berasal dari
etnis Tionghoa. Hal ini terutama sangat mereka rasakan ketika Orde Baru masih
berkuasa di Indonesia.
Orang yang berasal
dari etnis Tionghoa oleh penguasa diperlakukan sama sekali berbeda dengan warga
negara Indonesia lainnya. Berbagai kebijakan yang dibuat sangat membatasi ruang
gerak etnis Tionghoa untuk dapat hidup dengan aman dan nyaman di negara yang
sebenarnya mereka cintai ini. Adanya tekanan dari penguasa Orde Baru terhadap
etnis Tionghoa juga berimbas kepada persepsi masyarakat terhadap orang yang
berasal dari etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa
mengalami banyak tekanan terutama dalam tiga bidang pokok kehidupan berbangsa
dan bernegara, yaitu politik, sosial budaya, dan ekonomi. Berbagai kegiatan
mereka diawasi dengan ketat dalam tiga bidang tadi dan adanya perlakuan diskriminasi
dalam pemberian izin untuk terjun dalam tiga bidang itu. Dibentuknya Badan
Koordinasi Masalah Cina (BKMC) juga menunjukan bagaimana pemerintah Orde Baru
memandang etnis Tionghoa sebagai sebagai suatu “masalah” yang harus dipecahkan.
BKMC ini sendiri berada langsung di bawah Badan Koordinasi Intelejen (BAKIN)
yang menunjukan bahwa kegiatan dan aktivitas orang-orang etnis Tionghoa harus
diawasi dan dimata-matai.
Pada tahun 1998
terjadi perubahan yang sangat besar dalam kehidupan negara Indonesia. Rezim
Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun tumbang. Rezim ini yang telah
mengakar dengan sangat kuat dalam ketatanegaraan Indonesia jatuh dan digantikan
oleh pemerintahan baru. Adanya pergantian kekuasaan ini juga menyebabkan
terjadinya keterbukaan di Indonesia. Perubahan ini membawa dampak yang sangat
besar bagi etnis Tionghoa.
Mereka yang seperti hidup dalam sangkar pada saat rezim Orde Baru berkuasa, pada akhirnya merasakan angin kebebasan. Mereka mendapatkan kebebasan untuk berekspresi dalam tiga bidang yang sebelumnya sangat dikontrol pemerintah Orde Baru, yaitu politik, sosial budaya, dan ekonomi. Sangat menarik untuk disimak bagaimana kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi etnis Tionghoa sejak era reformasi bergulir.
Mereka yang seperti hidup dalam sangkar pada saat rezim Orde Baru berkuasa, pada akhirnya merasakan angin kebebasan. Mereka mendapatkan kebebasan untuk berekspresi dalam tiga bidang yang sebelumnya sangat dikontrol pemerintah Orde Baru, yaitu politik, sosial budaya, dan ekonomi. Sangat menarik untuk disimak bagaimana kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi etnis Tionghoa sejak era reformasi bergulir.
Permasalahan
Politik, sosial
budaya, dan ekonomi adalah tiga bidang yang sangat menentukan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sejak era reformasi bergulir, masyarakat etnis
Tionghoa mengecap manisnya arus perubahan ini. Mereka mengapresiasi tiga bidang
tadi dengan sangat antusias. Terjadi perubahan yang sangat besar dalam
kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa.
Kehidupan
Politik
Pada
zaman Hindia Belanda, perbedaan politik tampak jelas dari perbedaan aliran dari
masing-masing organisasi politik yang dibentuk orang Tionghoa. Pertama yang
berorientasi ke Tiongkok, kedua yang berorientasi ke Hindia Belanda, dan ketiga
yang berorientasi ke Indonesia. Organisasi yang berorientasi ke Tiongkok adalah
Tiong Hoa Hwee Koan (THHK, 1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908).
Organisasi ini didukung oleh orang Tionghoa Totok, yang baru datang ke
Indonesia sekitar akhir abad ke 19 sampai dengan awal abad ke 20. Organisasi
yang berorientasi ke Hindia Belanda adalah Chung Hwa Hui (CHH) yang didirikan
pada tahun 1920. Para pendirinya adalah orang Tionghoa Peranakan yang
berpendidikan Belanda, yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia.
Karena terlalu "kebelanda-belandaan", oraganisasi ini akhirnya
terpecah dua. Yang tidak setuju kemudian mendirikan partai politik yang
pro-lndonesia, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.
Berbeda dengan
kelompok Sin Po dan CHH, PTI yang didirikan pada tahun 1932 berkiblat ke
Indonesia dan lebih mengidentifika-sikan diri kepada Indonesia daripada ke
negara Cina atau Belanda. Partai itu bertujuan "membantu Indonesia
membangun bidang ekonomi, sosial, dan politiknya menuju ke suatu negara di mana
rakyat menikmati hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama".
Berbeda
dengan awal tahun 1900-an, runtuhnya rezim Orde Baru dan dimulainya era
Reformasi menyebabkan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan sosial dan
politik orang-orang Tionghoa di Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut
menimbulkan kesadaran di kalangan etnis Tionghoa bahwa ada sesuatu yang salah
dalam kehidupan mereka. Akibat tindakan represif yang dijalankan Jenderal
Soeharto di masa penumpasan G30S dan PKI (1965-1969) dimana puluhan ribu
orang-orang Tionghoa di seluruh Indonesia dituduh terlibat dan turut
dikejar-kejar dan ditangkap untuk dijadikan objek pemerasan, terjadi trauma
yang luar biasa di kalangan etnis Tionghoa sehingga mereka menjauhi wilayah
politik. Ribuan sekolah dan beberapa universitas baik yang didirikan oleh
Baperki maupun milik yayasan-yayasan Tionghoa ditutup dan gedungnya dijadikan
markas tentara atau kesatuan aksi mahasiswa yang kemudian berubah menjadi
sekolah negeri, ruko, atau perkantoran.
Semua hal ini
terjadi karena rezim Orde baru menjadikan “metode asimilasi” sebagi solusi
untuk menyelesaikan apa yang disebut “masalah Cina”. Berbagai kebijakan
dikeluarkan pemerintah Orde Baru berkenaan dengan etnis Tionghoa. Misalnya
pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina, keputusan Presidium Kabinet
No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai pergantian nama, Instruksi Presiden No. 14/1967
yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan Cina, Keputusan
Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang mengatur WNI keturunan
asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang
kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Leo Suryadinata, 1984: 153—173).
Tindakan
rezim Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa serta
larangan merayakan ritual agama, budaya dan tradisi Tionghoa serta penggantian
istilah Tionghoa dengan peyoratif Cina ditambah dibentuknya Badan Koordinasi
Masalah Cina (BKMC) menimbulkan rasa takut dan enggan sebagian besar etnis
Tionghoa untuk memasuki wilayah politik. Mereka perlahan-lahan digiring untuk
memasuki wilayah bisnis semata dan dikurung di sana untuk tiga puluh dua tahun
lamanya sampai runtuhnya rezim tersebut. Celakanya rezim Orde Baru memelihara
segelintir pengusaha Tionghoa untuk dijadikan kroni mereka dalam menumpuk
kekayaan dengan mengembangkan sistem percukongan yang memberikan
fasilitas-fasilitas tertentu yang melahirkan konglomerat-konglomerat gelap yang
menimbulkan imej yang sangat buruk di mata rakyat yang sangat merugikan seluruh
etnis Tionghoa.
Kerusuhan Mei 1998
telah membuktikan bahwa tanpa didukung kekuatan politik, posisi orang-orang
Tionghoa di Indonesia yang menurut mitos yang selama ini berkembang di
masyarakat seolah-olah “sangat kuat” di bidang ekonomi, ternyata sangat rentan
dan dapat dibuat tidak berdaya hanya dalam hitungan jam saja. Telah terbukti
pula bahwa keyakinan sementara kalangan etnis Tionghoa bahwa perlindungan yang
paling aman adalah dengan cara mencantolkan diri kepada para penguasa
ternyata keliru.
Selama
berlangsungnya kerusuhan Mei, kita dapat menyaksikan adanya “pembiaran” dari
aparat keamanan sehingga aksi-aksi anarkis tersebut dapat berlangsung dengan
bebas tanpa ada sedikitpun usaha untuk menghalanginya. Tidak lama setelah
jatuhnya rezim Orde Baru bermunculanlah berbagai LSM, ormas dan partai politik
yang didirikan oleh berbagai kalangan etnis Tionghoa dengan visi dan misinya
masing-masing. Apalagi setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres
yang memberi kebebasan kepada etnis Tionghoa dalam melakukan ritual-ritual
keagamaan, tradisi dan budayanya serta Keppres Presiden Megawati yang
menjadikan Imlek hari libur nasional, terjadi euphoria yang luar biasa
di kalangan etnis Tionghoa.
Jika
selama rezim Orde Baru orang-orang Tionghoa hanya berkonsentrasi di wilayah
bisnis saja, maka di masa Reformasi terjadi perubahan. Mereka sekarang mencoba
memasuki wilayah-wilayah lain yang selama tiga puluh dua tahun tertutup
baginya. Etnis Tionghoa sekarang telah berani tampil ke depan untuk
memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara dengan menuntut pencabutan
seluruh peraturan-peraturan yang diskriminatif, antara lain yang sekarang
sedang hangat-hangatnya adalah masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia (SBKRI). Dalam kehidupan sehari-hari mereka masih mendapatkan
perlakuan khusus, misalnya kalau melamar untuk mendapatkan paspor mereka harus
menyertakan surat kewarganegaraan.
SBKRI lahir karena
adanya kebijakan Orde Baru yang sebenarnya kini tidak dapat dipakai lagi atau
tidak relevan. Hal ini dimulai ketika terjadi perjanjian Dwikewarganegaraan
antara Indonesia dengan RRC yang dikenal dengan nama perjanjian Dwikewarganegaraan
Chou-Soenario yang berlangsung dari Januari 1960 sampai Januari 1962.
Adanya kebebasan
untuk membentuk perkumpulan bagi kalangan etnis Tionghoa menyebabkan
menjamurnya berbagai perkumpulan yang bercirikan Tionghoa. Setiap perkumpulan
memiliki visi dan misinya masing. Diantara mereka sendiri terdapat berbagai
perbedaan pandangan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pandangan berbagai organisasi
tersebut menurut Benny G. Setiono dapat dibagi sebagai berikut :
- Kelompok yang berpendapat bahwa etnis Tionghoa harus membentuk partai politiknya sendiri agar dapat memperjuangkan kepentingan dan haknya secara langsung di DPR.
- Kelompok yang langsung mengintegrasikan diri ke tengah-tengah masyarakat dengan membentuk LSM-LSM yang menentang peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan diskriminatif.
- Orang-orang Tionghoa yang berpendapat bahwa mereka tidak punya masalah dengan ke-Tionghoa-annya dan merasa telah sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia. Mereka terjun langsung memasuki partai-partai politik dan berhasil menjadi anggota DPR atau MPR bahkan Menteri.
- Kelompok yang hanya ingin memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa terutama dalam mempertahankan sosial budaya etnis Tionghoa dan menghindari wilayah politik.
- Kelompok yang ingin menyelesaikan masalah Tionghoa secara holistic dengan menghimpun sebanyak mungkin orang-orang Tionghoa ke dalam sebuah wadah untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia menuju Indonesia Baru yang adil, makmur, dan berperadaban tinggi sehingga dapat bersaing di tengah globalisasi yang sedang melanda dunia.
- Kelompok pengusaha yang selama ini merasa aspirasinya tidak terwakili oleh KADIN membentuk Perhimpunan Pengusaha Tionghoa Indonesia.
- Selebihnya ratusan organisasi di seluruh Indonesia yang dibentuk kalangan “totok” berupa yayasan, perkumpulan dan perhimpunan yang pada umumnya berdasarkan asal provinsi atau kampung halamannya di daratan Tiongkok (Hokkian, Hakka, Kongfu, dsbnya) maupun berdasarkan marga (Liem, Wong, dsbnya).
Banyak
juga dibentuk perkumpulan kematian, paguyuban alumni eks sekolah-sekolah
Tionghoa, dan yayasan-yayasan pendidikan, kesehatan, dan seni budaya. Namun
pada umumnya organisasi-organisasi ini dibentuk hanya berdasarkan ikatan kekerabatan
dan nostalgia dan sangat menghidari wilayah politik. Yang paling banyak adalah
perkumpulan-perkumpulan seni budaya seperti barongsai dan liong yang pada
umumnya berbasiskan berbagai kelenteng di seluruh kota-kota di Indonesia.
Di
antara berbagai organisasi Tionghoa, Perhimpunan INTI yang secara periodik
mengadakan diskusi-diskusi dan seminar-seminar politik dengan berbagai tema dan
narasumber dalam upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan politik para
anggota dan simpatisannya. Hasilnya menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan.
Jika pada awalnya peserta diskusi dan seminar-seminar tersebut hanya sedikit,
namun sekarang setiap event diikuti oleh ratusan orang secara tekun dan
aktif. Padahal Perhimpunan INTI bukanlah sebuah organisasi politik praktis dan
melarang pengurusnya menjadi pengurus partai politik apapun. Perhimpunan INTI
tidak mencantolkan diri kepada kekuatan politik apapun dan berusaha
selalu independen. Dalam menghadapi Pemilu, Perhimpunan INTI mengajurkan para
anggota dan simpatisannya untuk menggunakan hati nurani dan pengetahuan
politiknya untuk menentukan pilihannya.
Bagi
mereka yang merasa partisipasi politik Tionghoa tidak penting karena
populasinya sedikit, mereka melupakan bahwa jumlah mungkin memiliki makna cukup
besar bagi perhitungan suara pemilu, tetapi kecil bagi proses demokratisasi
secara komprehensif. Demokrasi bukan monopoli mayoritas. Partisipasi politik
minoritas yang demokratis justru bisa memberikan kontribusi pembelajaran yang
menarik dalam proses demokratisasi.
Seperti
telah diduga sebelumnya partai-partai politik yang bersifat primordial dan
menggantungkan diri kepada basis Tionghoa pasti akan mengalami kegagalan. Dalam
Pemilu Legislatif 2004 yang lalu, tidak sebuah pun parpol berbasis Tionghoa
berhasil lolos seleksi, baik Departemen Kehakiman & Ham maupun KPU. PPBI
tidak lolos seleksi Departemen Kehakiman & Ham dan PBI tidak lolos seleksi
KPU. Masih ada satu partai politik lainnya yang dipimpin oleh seorang etnis
Tionghoa dan juga mengandalkan dukungan dari kalangan etnis Tionghoa yaitu PDPR
yang juga gagal mengikuti Pemilu karena tidak lolos seleksi KPU. Tetapi dengan
gesit dan lincahnya para pemimpin parpol tersebut segera bermigrasi dan menjadi
caleg partai politik lainnya. Ironisnya semuanya gagal menjadi anggota DPR.
Dalam
Pemilu yang baru saja berlalu, lebih dari dua ratus orang etnis Tionghoa
menerjunkan diri menjadi caleg, baik untuk DPR maupun DPRD. Namun pada umumnya
mereka hanya digunakan oleh berbagai partai politik terutama partai-partai
gurem untuk menghimpun suara dan dana.Mereka hampir semuanya ditempatkan di
posisi “nomor sepatu”. Para caleg Tionghoa ini kebanyakan adalah para pengusaha
golongan menengah yang sangat naïf dalam persoalan politik dan belum siap untuk
terjun ke kancah politik praktis. Dari seluruh caleg tersebut hanya beberapa
orang saja yang berhasil menjadi anggota DPR maupun DPRD.
Orang
Tionghoa cukup pesimistis dalam menghadapi Pemilu. Menurut anggapan mereka apa
yang dijanjikan selama masa kampanye hanyalah janji gombal belaka. Memang ada
sekelompok orang Tionghoa yang mungkin bertujuan menjadi kroni para penguasa
yang akan datang dengan secara aktif terjun menjadi tim sukses para
Capres/Cawapres, tetapi mereka hanya minoritas dan tidak dapat mewakili
keseluruhan etnis Tionghoa.
Selama
beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi dilarang atau paling
tidak "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun
akhir-akhir ini bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid
Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.
Kehidupan
Sosial dan Budaya
Pada masa Orde Baru
terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang bersifat diskriminatif, seperti
Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat
itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya
menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono
Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang.
Di
masa pasca Orde Baru, partisipasi sosial kalangan etnis Tionghoa sangat
menonjol. Pada umumnya mereka aktif bergerak di bidang pendidikan dan
kesehatan. Banyak sekali orang-orang Tionghoa yang memilih profesi sebagai
guru, dosen, profesor, dokter, insinyur, pengacara, hakim, jaksa, advokat,
bahkan polisi dan tentara. Mereka mendirikan berbagai sekolah mulai dari TK
sampai SMA dan berbagai universitas.
Demikian juga
puluhan rumah sakit didirikan kalangan etnis Tionghoa. Rumah sakit-rumah sakit
ini didirikan dengan tujuan sosial semata yaitu untuk memberikan bantuan medis
bagi yang membutuhkan tanpa memandang kemampuan ekonominya. Bandingkan dengan
rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di masa Orde Baru yang bertujuan
komersial semata.
Selaras dengan
berlangsungnya reformasi, berbagai kegiatan sosial dilakukan oleh
organisasi-organisasi Tionghoa antara lain dalam membantu korban gempa bumi,
banjir, dan kebakaran. Demikian juga dengan kegiatan pembagian sembako dan
pakaian bekas, donor darah, khitanan massal serta pengobatan massal secara
cuma-cuma bagi kaum duafa.
Di bidang
pendidikan mereka banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari
kursus bahasa Inggris, Mandarin, komputer sampai akademi dan universitas.
Kalangan mudanya secara aktif mulai memasuki bidang-bidang profesi di luar
wilayah bisnis semata. Mereka sekarang secara terbuka berusaha menjadi artis
sinetron, presenter TV, peragawati, foto model, pengacara, wartawan, pengarang,
pengamat sosial/ politik, peneliti, dsbnya. Hal ini sangat berbeda ketika rezim
Orde Baru memberlakukan kebijakan diskriminasi. Misalnya, pemberlakuan batasan
10 persen bagi etnis Cina untuk bisa belajar di bidang medis, permesinan, sains
dan hukum di universitas.
Di dalam kehidupan
sosial mereka mulai membuka diri dan mau peduli terhadap lingkungan di
sekitarnya. Mereka tidak lagi menolak apabila terpilih menjadi Ketua RT/RW dan
secara aktif ikut dalam penyelengaraan Pemilu di lingkungan tempat tinggalnya.
Dalam hubungan
mereka dengan negara leluhur (RRC), pada umumnya mereka mengambil sikap bahwa
hubungan tersebut hanya bersifat kekerabatan semata. Mereka merasa telah
sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia yang lahir, besar, dan meninggal serta
dikebumikan di Indonesia. Filsafat mereka sekarang adalah luo di sheng gen
yaitu “berakar di bumi tempat berpijak” yang dapat diartikan menetap di
Indonesia selama-lamanya menggantikan ye luo gui gen yang berarti
“ibarat daun rontok kembali ke bumi”.
Demikian juga sikap pemerintah RRC yang dengan tegas
menyatakan bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah warga Indonesia yang harus
loyal kepada Indonesia, mentaati hukum dan peraturan Indonesia serta memberikan
sumbangan pada pembangunan dan kemajuan Indonesia. Orang Tionghoa Indonesia
bukan warga RRC dan tidak berada di bawah yurisdiksi Tiongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar